Pohon Empat Musim


Buset dah ga nyangka, gue bakal ngelahirin short stories ke 3 gue. Setelah gue buat short stories yang bergenre horor dan action, yang ketiga gue buat bergenre love. Untuk short stories ke 2 gue yang berjudul Masihkah Kau Ingat Langit Biru? tinggal satu chapter lagi. Gue bakal buat tahun depan, tunggu ada kebakaran hutan lagi karena berhubung gue bikinnya pas asap asap menyerang Pekanbaru.

Kali ini short stories gue berjudul Pohon Empat Musim. Yaelah gue aja yang ngarang ceritanya ngiri ama tokoh yang gue buat. Ya paling tidak gue buat short stories ini buat kesenangan gue aja tanpa beban cinta #Applause. Oya berhubungan besok hari kasih sayang insyaallah gue bakal terbitin chapter pertama seri pohon empat musim kalau gue sadar besok gaada PR ya. 

POHON EMPAT MUSIM

Di suatu desa kecil di Jepang, di balik bukit yang tenang, terhampar padang rumput hijau yang luas. Angin berhembus lembut, memainkan dedaunan pohon yang belum sempurna tumbuh. Di tengah padang itu berdiri sebuah pohon muda, kecil namun kokoh, dan di sampingnya, sebuah gubuk kayu sederhana yang dibangun oleh dua anak kecil, Kahane dan Shikari.

“Kita harus janji,” kata Kahane, suaranya terdengar penuh keyakinan. Ia menatap Shikari dengan mata berbinar. “Kita akan selalu bersama, tidak peduli apapun yang terjadi. Yang ingkar harus menelan seribu jarum!”

Shikari, dengan senyuman khasnya, mengangguk mantap. “Selamanya kita akan bersama!”

Mereka baru berusia sebelas tahun, namun bagi mereka, persahabatan ini adalah segalanya. Setiap hari, mereka bermain di padang itu, berlarian, tertawa, dan berbagi mimpi di dalam gubuk yang mereka sebut sebagai ‘markas rahasia’. Mereka berjanji untuk selalu bersama di bawah pohon itu, tempat di mana mereka merasa dunia begitu sempurna.

Namun, takdir memiliki rencana lain. Pada suatu hari, orang tua Kahane memberitahunya bahwa mereka harus pindah ke luar negeri karena pekerjaan. Perpisahan itu datang mendadak, dan kedua sahabat itu merasa seperti dunia mereka runtuh.

“Aku akan selalu menunggumu,” kata Shikari, suaranya bergetar saat mereka berpelukan di bawah pohon untuk terakhir kalinya. Di bawah langit yang kelabu, mereka berpisah dengan janji yang takkan terlupakan.

Musim panas tiba kembali di Jepang, membawa kehangatan yang menggoda. Kali ini, Kahane, yang kini berusia 17 tahun, kembali ke desa kecil di mana ia dibesarkan. Setelah enam tahun tinggal di luar negeri, ada perasaan rindu yang mendalam untuk pulang ke tempat yang pernah menjadi dunianya. Terutama, ia rindu akan pohon itu dan Shikari.

Langkah Kahane terasa berat saat ia menapaki jalan setapak menuju bukit. Ia tidak tahu apa yang akan ditemuinya di sana. Semuanya mungkin telah berubah. Desa ini, bukit itu, bahkan mungkin Shikari. Apa yang telah terjadi selama enam tahun ini?

Sesampainya di puncak bukit, pemandangan yang akrab namun terasa asing menyambutnya. Pohon itu masih ada, lebih besar dan rimbun daripada yang diingatnya. Namun, gubuk kayu mereka, meski masih berdiri, tampak lapuk dan ditinggalkan. Langit cerah di atasnya seakan membawa kembali kenangan masa kecil mereka yang pernah begitu cerah.

Dengan rasa harap yang samar, Kahane melangkah masuk ke gubuk. Aroma kayu tua dan debu menyergapnya. Di sudut gubuk yang hampir runtuh, ia melihat sebuah buku catatan yang ditinggalkan di atas lantai. Di sampulnya, tertulis dengan tangan yang dikenalnya: Shikari.

Dengan hati yang berdebar, Kahane duduk di lantai gubuk dan membuka buku catatan itu. Di dalamnya, setiap halaman bercerita tentang musim demi musim yang dilalui Shikari. Catatan itu dimulai sejak Kahane pergi.

“Musim dingin pertama tanpamu... hari-hari terasa panjang, dan aku berharap kau segera kembali.”
“Musim semi datang. Pohon kita mulai menumbuhkan daun, namun kau masih belum kembali.”
“Musim panas tahun kedua, aku duduk di bawah pohon seperti yang kita janjikan. Aku menunggu, berharap kau akan muncul di balik bukit, tapi kau tidak ada.”
“Musim gugur datang lagi. Aku mulai meragukan janjimu, tapi aku tetap menunggu.”

Setiap halaman mencerminkan perasaan Shikari harapan, kerinduan, dan kesedihan yang mendalam. Tahun demi tahun berlalu, dan meskipun Shikari terus menunggu, Kahane tak pernah kembali.

Pada halaman terakhir, sebuah pesan singkat tertulis: “Musim panas ini, aku akan menunggu untuk terakhir kalinya. Jika kau tidak kembali, aku akan pergi.”

Kahane menutup buku itu dengan tangan gemetar. Jantungnya berdetak kencang. Apakah Shikari masih menunggunya? Atau apakah ia sudah pergi? Pertanyaan itu berputar-putar di pikirannya.

Kahane keluar dari gubuk, berdiri di bawah pohon yang kini besar dan rindang. Ia memandang sekeliling, berharap melihat sosok Shikari muncul dari balik bukit, seperti yang selalu dibayangkannya. Namun, yang ada hanya angin yang berhembus lembut, membawa aroma musim panas.

Dia duduk di bawah pohon, memejamkan matanya dan mendengarkan suara alam di sekitarnya. Sekarang, setelah membaca catatan itu, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Perasaan bersalah bercampur dengan harapan yang samar. Jika Shikari masih menunggu, apa yang harus ia lakukan? Dan jika Shikari sudah pergi, apakah mereka akan pernah bertemu lagi?

Senja mulai merayap di atas bukit, menciptakan bayangan panjang di tanah. Langit perlahan berubah oranye, dan suara burung-burung yang kembali ke sarang mulai terdengar di kejauhan. Kahane membuka matanya, menatap langit yang mulai gelap.

Ia menarik napas panjang, seolah berusaha menenangkan gejolak di dalam hatinya. Saat ia berdiri untuk pergi, suara langkah pelan terdengar di kejauhan. Kahane menoleh cepat, jantungnya berdegup kencang.

Di ujung bukit, sosok seseorang terlihat berdiri di bawah sinar matahari yang mulai memudar. Sosok itu terlalu jauh untuk dikenali dengan jelas, tetapi sesuatu di dalam diri Kahane mengatakan itu adalah Shikari.

Atau mungkin hanya bayangan harapan?

Kahane menunggu, berharap sosok itu akan mendekat, tetapi tidak ada yang bergerak. Angin semakin kencang, dan bayangan sosok itu perlahan menghilang, tersapu oleh angin dan senja yang semakin gelap.

Malam menjelang, dan bukit itu kembali sunyi. Kahane masih berdiri di bawah pohon, menatap tempat di mana sosok itu tadi berdiri. Hatinya dipenuhi dengan perasaan yang bercampur antara harapan dan keputusasaan. Apakah Shikari sudah pergi? Atau apakah dia masih menunggu di suatu tempat, seperti pohon ini yang terus tumbuh di setiap musim?

Kahane menarik napas panjang, merasakan angin malam yang dingin menyentuh kulitnya. Ia tidak tahu apakah perjalanannya telah berakhir, atau baru saja dimulai. Namun, satu hal yang pasti, janji di bawah pohon empat musim itu masih hidup, setidaknya dalam hatinya.

Dan entah bagaimana, Kahane percaya bahwa suatu hari, mereka akan bertemu lagi. Di bawah pohon yang sama, di tempat di mana semua dimulai.

Komentar